CARA
ALLAH MEMBERI REZEKI
Andaikata, uang kita diambil satu bagian,
lalu dikembalikan sebanyak tujuh belas kali lipat, maukah kita? Andaikata, yang
mengambil tidak memberitahu lebih dahulu, kalau nantinya akan dibayar dengan
berlipat ganda, maukah kita?
Marilah kita ikuti pengalaman nyata seorang
bapak muda yang cukup menarik untuk dikaji. Sebutlah Pak A. Sekitar bbrp tahun
yang lalu, tepatnya tahun 1988, seorang muda yang baru dikarunia seorang anak,
ia bekerja sambil menyelesaikan kuliahnya yang tinggal sebentar lagi selesai.
Gaji yang didapatkan dari pekerjaannya itu setiap bulannya dapat dikatakan
sangat tidak cukup untuk biaya hidupnya beserta istri dan seorang anak
kecilnya.
Suatu hari yang "naas" ia pulang
dari kerjanya. Dengan penuh gembira ia membawa pulang gaji pertamanya yang
sebesar Rp. 40.000,- ( Empat puluh ribu rupiah ). Dengan perasaan bangga dan
penuh dengan rasa gembira ingin ditunjukkannya hasil kerjanya itu kepada istri
tercintanya.
Ingin sekali ia cepat-cepat sampai di rumah
dan dengan uang itu ia ingin belanja bersama istri dan anaknya, maklum gaji
pertama adalah gaji yang mempunyai nilai "historis" tinggi.
Setelah sampai dirumah apa yang terjadi?
Ternyata dompet yang berisi gaji satu bulan tersebut sudah tidak ada di saku
celananya alias kecopetan ketika ia pulang dari tempat kerjanya.
Bisa dibayangkan betapa sedih, kecewa dan
bingungnya ia ketika itu. Andaikata bisa, mungkin ia akan menangis
sejadi-jadinya. Bahkan mungkin ia akan protes kepada tuhan yang telah
"mengijinkan" peristiwa itu terjadi. Karena ia telah bekerja dengan
keringatnya tanpa kenal lelah dengan penghasilan yang halal demi keluarga
tercinta.
Waktu satu bulan sungguh terasa sangat lama
untuk menunggu gaji tersebut. Tapi apa mau dikata gaji pertamanya sudah harus
ia relakan untuk tidak ia miliki saat itu. Bagaimana jika peristiwa itu terjadi
pada diri kita? Sanggupkah kita menerimanya dengan ikhlas?
Apa yang ia lakukan selanjutnya? Ia duduk
terdiam tanpa bisa berkata apa-apa sambil memandang istri dan anaknya, mengapa
hal ini harus terjadi pada dirinya? Dalam kondisi seperti itu dengan hati
terasa pedih ia mencoba tegar dan berpikir praktis. Biarlah uangnya hilang, toh
peristiwa sudah terjadi, mau diapa lagi....?"
Akhirnya diambilnya keputusan untuk tetap
berusaha kalau-kalau dompet tersebut masih mungkin untuk ditemukan, walaupun
secara logika sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali uangnya
tersebut. Ia berusaha mengambil hikmah dari kejadian itu meskipun dengan
perasaan yang tidak karuan sedihnya.
Keputusan segera diambilnya, yaitu tetap
berusaha untuk mencoba mendapatkan kembali dompetnya karena di dalamnya ada
beberapa surat berharga, diantaranya stnk kendaraan bermotor, ktp, dan beberapa
surat penting lainnya.
Akhirnya untuk mendapatkan kembali
surat-surat yang hilang tersebut ia menulis surat pembaca pada sebuahsurat
kabar, yang intinya: biarlah uang itu hilang, asal surat-suratnya dapat
kembali, dan ia berharap jika ada orang yang menemukan dompet itu, ia minta
tolong agar di antarkan ke alamat yang tertera dalam ktp tersebut.
Apa yang dilakukan hari-hari berlkutnya?
Setiap hari ia membaca surat kabar, kalau-kalau ada berita tentang dompetnya
yang hilang. Ketemukah dompet tersebut? ternyata tidak!
Lalu dimanakah keindahannya peristiwa itu?
Keindahannya ialah terletak pada keharusannya ia membaca suratkabar tersebut.
Seolah-olah Allah menyuruh dia untuk membaca surat kabar setiap hari, dengan
cara "mengijinkan" seseorang untuk mengambil dompetnya...
Lalu apa yang terjadi hari berikutnya?
Dengan membaca surat kabar setiap hari, tanpa terasa suatu saat ia menemukan
suatu tulisan pada disiplin ilmu yang dikuasainya yang menurut pendapatnya hal
itu kurang tepat, akhirnya ia mencoba menulis untuk mengulas dan menyanggahnya.
Waktu berjalan dengan cepat. Ia telah lupa
pada dompetnya yang hilang, dan saat itu ia asyik menulis sesuai dengan
kemampuannya yang sesuai pula dengan disiplin ilmunya.
Hal ini berlangsung beberapa bulan sejak
terjadinya peristiwa naas tersebut. Selanjutnya ia sering menulis dan
menanggapi tulisan orang lain sampai berulang-ulang sehingga ia menjadi seorang
penulis. Meskipun masih pemula, pada surat kabar tersebut. Lalu?
Karena kemampuannya menulis dinilai cukup
baik, oleh pimpinan perusahaan ia dipanggil dan ditawari untuk bekerja
diperusahaan tersebut dengan gaji pertama Rp 750.000,- Tujuh belas kali lipat
lebih tinggi dibanding uangnya yang telah hilang waktu itu.
Itulah rupanya jawaban Allah atas kejadian
yang menimpa seseorang, bila sabar menerimanya. Allah "meminjam" 1
bagian, dan kini dikembalikan menjadi tujuh belas kali lipat lebih.
Waktu berjalan terus tanpa terasa, dan pada
saat saya menulis ini, ia telah mencapai sukses gemilang dengan penghasilan
yang ribuan kali lipat dibanding uang yang hilang dulu.
Apakah ini merupakan puncak keindahan dari
peristiwa yang terjadi di hari "naas" itu, atau bahkan Allah Yang
Maha kuasa akan menunjukkan pada sesuatu yang lebih indah lagi....wallahu'alam.
Yang pasti, ukuran sukses yang paling besar
adalah hati yang damai, dan bahagia yang tercapai. Saya yakin setiap orang
pernah mengalami kejadian yang senada dengan kejadian diatas. Hanya saja
mungkin skala dan situasinya yang berbeda.
Marilah kita renungkan perjalanan hidup
kita masing-masing, pasti kita pernah mengalami suatu kejadian, dimana kejadian
tersebut kita sangka sesuatu yang menyusahkan, merugikan, dan menyedihkan.
Tetapi hal itu akan berubah menjadi sesuatu
yang indah, apabila seseorang sabar menerimanya. Akhirnya muncullah hikmah yang
sangat besar yang tiada tersangka sebelumnya.
Sungguh, Allah Maha Perencana dari segala
macam kejadian dan peristiwa. Setiap peristiwa yang sudah terjadi, bagi seorang
muslim merupakan ketetapan Allah yang sangat indah. Karena disitulah letak
ukuran dan ujian kualitas taqwa seseorang...
0 komentar:
Posting Komentar